Ada tiga hal di dunia ini yang sering membuat saya kepikiran sampai berhari-hari setiap kali mendapatinya. Kalau pakai istilah kekinian, sering disebut dengan istilah baper (terbawa perasaan). Seperti pernah saya tulis di postingan akun media sosial saya sekira setahun silam[1], ketiga hal tersebut adalah, “Gadis kecil yang jalan takdirnya tragis, nenek-nenek tua renta yang jualan sesuatu di pinggir jalan, dan anak kucing liar/kampung yang kurus sendirian”. Iya, meskipun tampang saya kriminal, paling tidak kuat mendapati hal-hal seperti itu di dunia.
Sebagai penulis konten, saat mencari referensi tulisan sering saya tanpa sengaja menemukan artikel, video, atau foto yang berhubungan dengan tiga hal tersebut, hingga produksi konten pun tertunda karena gagal fokus. Salah satu contohnya, belum lama ini ketika saya mencari referensi tulisan di Youtube, algoritma Youtube menuntun saya ke video para anak yatim yang diadopsi. Akhirnya saya pun terjebak menonton kisah-kisah mengharukan itu, ketika para gadis kecil yang tak punya orangtua itu pada akhirnya ada yang mengasuh dan bisa mereka panggil papa-mama.
Video-video adopsi yang direkomendasikan algoritma Youtube (Google) pada saya kebanyakan adalah video adopsi keluarga-keluarga dari Amerika terhadap anak-anak yatim dan terlantar di China. Setelah mendapat approval dari pemerinta China dan panti asuhan setempat, mereka terbang ribuan kilomeer melintasi lautan dan benua untuk menjemput malaikat kecilnya. Para malaikat kecil yang digariskan Tuhan untuk diasuh keluarga baru itu antara lain, adik Selah A (2016)][2], Selah B (2018)[3], Naomi (2018)[4], dan Scarlett/Meimei (2016)[5].
Beruntung bagi saya dan juga siapa pun yang penasaran dengan kisah atau latar belakang mereka melakukan adopsi anak-anak yatim tersebut. Pasalnya, kebanyakan dari mereka memiliki dokumentasi lengkap berupa tulisan terkait kisah adopsinya. Salah satu hal atau fakta yang menarik perhatian saya, hampir semua keluarga yang melakukan adopsi itu meyakini apa yang mereka lakukan adalah hal baik yang telah Tuhan atau agama mereka ajarkan[6][7][8]. Pendek kata, mereka kebanyakan memang religius atau taat dalam beragama.
Senang sekali rasanya mendapati saudara-saudara saya yang berbeda keyakinan bisa melakukan hal menggagumkan. Sebagai seorang muslim, salah satu ajaran Islam yang paling saya banggakan adalah penghormatan pada seorang ibu[9] dan begitu diutamakannya anak yatim[10]. Sungguh indah mendapati umat di agama lain pun memiki ajaran yang tidak jauh berbeda. Meski dari kacamata iman, tentu saja saya masih tetap meyakini agama atau kepercayaan saya yang paling “benar”. Paling penting saya tidak memaksakan hal itu pada orang lain, bukan?
Fenomena orang-orang religius melakukan tindakan semulia mengadopsi anak yatim sungguh membuat saya bahagia. Bagaimana tidak, meski saya sendiri mungkin bukanlah penganut agama yang taat, sejujurnya saya tidak rela ketika mendengar mereka yang istiqamah dalam beragama sering diidentikan dengan frasa mabuk agama, dimana frasa tersebut berkonotasi negatif. Biarlah orang-orang pada mabuk agama selama mereka bisa jadi garda terdepan dalam menolong dan memuliakan para anak yatim dan terlantar. Ketika mabuk agama itu lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya, kenapa tidak.
Di mata saya, keluarga atau orang-orang yang sanggup mengadopsi anak-anak yatim dan terlantar tak ubahnya malaikat dunia. Tidak harus pula alasan mereka mengadopsi anak yatim dan terlantar adalah perintah Tuhan atau agama. Keluarga Jerry dan Danielle yang mengadopsi adik Scarlett/Meimei yang juga saya tulis di atas pun tidak pernah secara eksplisit menyebut adopsinya terhadap Scarlett adalah perintah Tuhan. Namun begitu, keduanya terlihat berhasil menjadi orangtua yang baik untuk Meimei. Bahkan kalau saya amati banyak pula pengagum keluarga Jerry dari Indonesia.
Mungkin juga akan ada yang berpendapat, “lu kok pilih-pilih amat Yos menyematkan status ‘malaikat dunia’ pada orang. Apalagi di awal-awal lu nulis kategorinya hanya berhubungan dengan gadis kecil, nenek-nenek, dan anak kucing, hehe”. Ini soal preferensi bawaan sejak lahir saja kok, dimana saya tidak bisa pesan pada Tuhan agar dilahirkan sebagai orang yang terenyuh pada hal apa pun tak terkecuali atau pilih-pilih. Boleh juga dibilang kryptonite saya adalah hal-hal yang berhubungan dengan gadis kecil, nenek-nenek, dan anak kucing.
Saya sebenarnya tetap terharu juga ketika mendapati anak laki-laki terlantar atau yatim diadopsi, kakek-kaket tua renta jualan di pinggir jalan mendapat pelanggan (penolong) setia, atau anak anjing kurus kering terlantar di jalanan yang akhirnya dipungut seseorang. Seperti di muka telah saya tuliskan, bedanya hanya fenomena A bisa membuat saya kepikiran sampai berhari-hari, sementara fenomena serupa (misal B) tidak sampai berhari-hari. Jadi bukan membeda-bedakan dalam kemanusiaan, hanya tingkat keterunyuhannya yang berbeda.
Referensi: