Beberapa hari lalu algoritma Youtube menuntun saya untuk kembali menonton salah satu video mengharukan yang pernah saya saksikan beberapa tahun silam. Video tersebut adalah cuplikan serial TV Doctor Who episode Vincent van Gogh (Vincent and the Doctor)[1]. Dalam video itu sang doktor membawa Vincent ke masa depan untuk memperlihatkan padanya bahwa di masa depan dia dikenal sebagai salah satu pelukis termasyhur di dunia. Dengan memberitahu fakta tersebut, Doktor berharap Vincent bisa lepas dari depresi, sehingga tidak jadi bunuh diri. Sayang, Vincent pada akhirnya tetap bunuh diri dan sang doktor pun menyadari ada hal-hal di dunia ini yang memang tak pernah bisa diubah, meski dengan bantuan mesin waktu super canggih.
Waktu pertama kali menontonnya beberapa tahun lalu, saya hanya sekadar tahu Vincent adalah salah satu pelukis yang namanya melegenda setelah meninggal dunia. Sudah, itu saja, tidak penasaran untuk mencari lebih jauh tentang Vincent van Gogh, karya-karyanya, dan sejarah hidupnya. Kemarin berbeda, mendadak saya penasaran untuk baca-baca sejarah hidup Vincent. Betapa terkejutnya saya ketika mendapati hidup Vincent itu sungguh berliku dan sangat menarik untuk dibaca serta diambil hikmahnya. Salah satu fakta menarik tentang kehidupan Vicent di mata saya adalah hubungannya dengan sang adik, Theo van Gogh. Adiknya ini boleh dibilang sebagai orang dibalik segala karya luar biasa Vincent, selain janda Theo, Johanna van Bonger.
Sejak berusia 19 tahun atau sekira tahun 1972, Vincent sudah berkirim surat pada adiknya. Pada surat-surat pertamannya itu, ia menuliskan berbagai harapan serta nasihat sebagai seorang kakak untuk adiknya. Mengingat Vincent selama hidupnya diyakini memiliki banyak sekali penyakit kejiwaan alias “kurang waras”, kedewasaan dan kasih sayang yang dia tunjukan dalam surat-suratnya[2] untuk Theo menurut saya luar biasa. Theo yang lebih muda empat tahun dari kakaknya itu pada akhirnya mengikuti jajak karier Vincent, bekerja di diler seni Goupil & Cie. Di mata Theo, sang kakak yang berpenyakit mental tetap jadi panutannya, segala kekurangan pada kejiwaan Vincent tak mengurangi kasih sayang mereka sebagai keluarga.
Januari 1876, Vincent dipecat dari Goupil & Cie karena dinilai kurang cekatan sebagai pialang karya seni[3]. Keberhasilan Vincent berkarier di Goupil & Cie sendiri dari 1969 sampai 1976 sebenarnya relatif unik untuk ukuran orang yang mentalnya tidak normal atau terganggu. Usai dipecat, Vincent mengalami banyak kegagalan dalam usahanya menata kembali karier dan hidupnya. Dia gagal mengikuti jajak ayahnya jadi pendeta, gagal ujian masuk studi teologi di Universitas Amsterdam, gagal lulus pula saat coba-coba mengambil kursus tiga bulan di sekolah misionaris Protestan di Laken dekat Brussel. Kegagalan demi kegagalan yang dialami Vincent itu berlangsung relatif lama. Setidaknya dari tahun 1976 sampai 1980 mimpi-mimpi Vincent selalu kandas.
Di sisi lain, karier Theo semakin moncer hingga dia dipercaya jadi kepala cabang Goupil & Cie Paris pada 1980. Memasuki 1981, Vincent yang lama menganggur serta masa depannya tidak jelas gantian mendapat suntikan moral dan finansial dari sang adik. Theo-lah orang yang mendorong Vincent untuk jadi pelukis serta memasok peralatan lukis secara cuma-cuma. Ia pulalah sosok yang setia dalam usaha menjual lukisan-lukisan Vincent, meski usaha tersebut terbilang gagal[4]. Pada 1889 atau setahun sebelum meninggal bunuh diri, Vincent masuk rumah sakit jiwa lantaran kondisi kejiwaannya memburuk. Dalam salah satu suratnya pada Vincent, Theo mengaku perasaannya sangat sedih mengetahui kondisi kejiwaan kakaknya memburuk[5].
Dari rumah sakit Vincent tetap melukis dan masih bisa mengirim lukisan-lukisan tersebut ke Theo. Theo tetap bangga memajang lukisan-lukisan Vincent di sebuah pameran serta mengabarkan lewat surat bahwa lukisan sang kakak banyak dapat pujian[6]. Setahun berselang, Vincent keluar dari rumah sakit Jiwa dan kariernya sebagai pelukis terlihat cerah usai karya-karyanya mulai mendapat apresiasi[7]. Sayangnya di tahun yang sama pula Vincent memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan peluru 7mm pistol revolver. Tak berselang lama usai Vincent pergi untuk selama-lamanya, kondisi kesehatan Theo juga memburuk. Theo didiagnosa penyakit otak dementia paralytica kemudian meninggal enam bulan setelah kematian kakaknya.
Kepergian Vincent dan Theo dalam waktu berdekatan seperti sudah digariskan. Theo yang lahir ke dunia empat tahun setelah Vincent bak sengaja dihadirkan untuk menjaga kakaknya. Ketika “tugasnya” telah selesai, ia pun kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Namun begitu, terlepas dari semua itu memang tugas Tuhan untuknya, Theo di mata saya telah banyak berkorban yang tak ternilai harganya. Dia meninggal di usia 33, sementara kakaknya pergi pada umur 37, Tuhan seperti lebih mengasihi Vincent dengan memberikan masa hidup yang lebih lama. Theo dari remaja hingga ia tiada malah seperti selalu dibebani Vincent, baik beban moral maupun finansial. Meski saya yakini Theo tidak merasa terbabani, sebagaimana tertulis dalam suratnya[8].
Berbicara tentang pengorbanan seseorang pada saudara atau keluarganya seperti yang Theo lakukan, jadi ingat salah satu kolom isian/pertanyaan unik di salah satu layanan aplikasi sosial media beberapa tahun silam. Pertanyaannya adalah, “Jika saya harus masuk penjara, saya dihukum karena?”. Bukan pertanyaan yang sulit sih itu buat saya, “melindungi ibu dan adik perempuan saya!” adalah jawaban yang langsung muncul di kepala kala itu. Jangankan cuma masuk penjara demi mereka, memberikan sisa nafas atau nyawa saya untuk mereka saja saya siap kok bray! Seperti pernah saya ungkapkan pada syair lagu yang saya tulis untuk Ibu beberapa tahun silam, “Aku pun rela menukar hidupku, tetaplah berdiri hingga seribu tahun lagi”[9].
Dua tahun silam, di media sosial saya menulis sebuah postingan “random” [10] terkait kesehatan yang saya beri judul “Tukar Kesehatan” *istilah macam apa itu, wkwkw. Tukar kesehatan adalah keadaan dimana manusia yang dalam kondisi sehat rela menggantikan posisi orang-orang terkasih saat sedang sakit. Sebenarnya tukar kesehatan tersebut boleh dimaknai juga dengan tukar nyawa, artinya rela memberikan sisa nikmat hidupnya demi orang lain yang dikasihi agar ia tetap bisa melanjutkan hidupnya di dunia. Saya kok percaya banyak orang yang siap melakukan tukar kesehatan pada orang-orang terkasihnya, misal anak untuk orangtuanya, orangtua untuk anaknya, kakak untuk adiknya, atau adik untuk kakaknya. Pertanyaannya, mungkinkah hal tersebut terjadi?
Sependek yang saya tahu, konsep imajiner tukar kesehatan yang saya tulis di atas sepertinya bakal jadi sebatas khayalan semata. Kalau pun bisa dilakukan, itu hanya ada dalam cerita fiksi. Di salah satu episode anime One Piece[11], pernah diceritakan pengorbanan Zoro pada Luffy yang mirip dengan konsep tukar kesehatan. Zoro sang wakil kapten rela berkorban merasakan rasa sakit yang ditransfer oleh musuhnya (Kuma) ke tubuh Zoro. Kuma sempat mengatakan bahwa Zoro bakal mati saat menerima rasa sakit itu lantara tubuhnya sudah dalam kondisi terluka juga, meski tidak separah Luffy. Luffy pun mendadak sehat dari rasa sakit dari pertarungan-pertarungan di arc tersebut usai Zoro menyerap rasa sakit tersebut.
Tukar kesehatan sendiri memang bukan jalan satu-satunya untuk berkorban terhadap orang-orang tercinta yang sedang sakit. Banyak cara lain yang bisa dilakukan ketika ingin memperjuangkan atau berkorban pada orang terkasih. Pada 2017 silam saya pernah baca sebuah kisah mengharukan yang bikin mbrebes mili tiap mengingatnya, yakni pengorbanan luar biasa gadis kecil 8 tahun untuk ibunya yang sedang sakit[12]. Gadis kecil bernama Xiao Huixuan itu rela menahan rasa sakit luar biasa ketika menjalani operasi pengambilan sumsum tulang belakang demi ibunya yang menderita leukimia. Si kecil Xiao mengaku menahan tangis dari sakit yang luar biasa hebat karena ia khawatir ibunya semakin sedih bila sampai mendengar tangisnya.
Memang seperti itu adanya, orang-orang yang siap berkorban segalanya untuk kita biasanya adalah keluarga tercinta. Tanpa ditanya dan tanpa diminta, mereka siap melakukan apa pun demi saudaranya. Saya selalu takjub dan ikut merasa nyaman sekali setiap mendapati kisah-kisah keluarga yang begitu hangat, keluarga yang saling menjaga, keluarga yang sama sakali tak pernah tebersit untuk saling menyakiti. Andai saya produser serial Doctor Who, ingin sekali membuat episode Theo and the Doctor, tak hanya Vincent and the Doctor. Atau mungkin ada penjelajah mesin waktu yang nyasar ke tulisan ini, tolong bawa Theo van Gogh ke masa kini walau hanya 1-2 jam, untuk melihat legacy yang diwariskan sang kakak berkat pengorbanannya!
Referensi:
-
http://vangoghletters.org/vg/letters.html
Baca juga:
-
https://www.liveabout.com/van-gogh-sold-only-one-painting-4050008
-
https://www.thoughtco.com/first-reviewer-of-van-goghs-paintings-2578999
-
https://www.yosbeda.com/membunuh-waktu-sebuah-lagu-sederhana-yang-saya-tulis-untuk-ibu
-
http://www.chinadaily.com.cn/china/201721/content\_28276522.htm