Bagi beberapa orang, berbohong mungkin adalah hal yang biasa saja atau mudah dilakukan, bak membalikkan telapak tangan. Sementara bagi sebagian orang lainnya, berkata bohong merupakan tindakan yang sangat sulit dikerjakan. Bahkan saya meyakini tidak sedikit orang yang merasa tersiksa batinnya setiap berkata dusta lantaran tidak terbiasa melakukannya. Penyebabnya pun bermacam-macam ketika manusia merasa tersiksa batinnya tatkala harus berdusta, sehingga enggan melakukannya. Ada beberapa orang yang enggan berdusta karena hal itu adalah perbuata dosa yang dilarang oleh agama. Ada pula yang enggan berkata bohong bukan kerena pahala-dosa atau surga-neraka saja, melainkan juga karena melihat kejujuran adalah bagian dari keindahan dan kesempurnaan dalam perbuatan manusia di dunia.
Pernahkah kamu punya teman yang setiap makan selalu dihabiskan sampai butir nasi terakhir, hingga piringnya kayak usai dicuci? Pernahkah kamu punya teman yang ketika uang Rp100 miliknya jatuh ke selokan, eh ia sampai bersusah payah mengambilnya lagi? Pernahkah kamu punya teman yang ketika habis salat, dia melipat sarungnya lama sekali agar rapi banget kayak habis dibeli dari toko? wkwkwk. Hal-hal “ajaib” seperti itu setahu saya bisa terjadi karena di mata mereka, sebutir beras, sekeping uang logam, hingga lipatan kain yang rapih adalah bagian dari kesempurnaan. Sepiring nasi yang dihidangkan di depannya itu sempurna, berapa pun duit yang ada dalam dompet atau sakunya itu sempurna, semurah apa pun harga sarung yang dipakainya untuk salat itu sempurna.
Mereka akan selalu berusaha menjaga kesempurnaan yang telah Tuhan anugerahkan dalam bentuk apa pun, termasuk fitrah manusia untuk selalu berbicara apa adanya. Bila kelak harus pergi meninggalkan dunia untuk kembali ke ribaan-Nya, bukan harta berlimpah atau harumnya nama di seantero negeri yang ingin mereka wariskan, cukup ingin dikenal semasa hidupnya sebagai orang yang jujur. Itu memang bukan sebuah kebanggaan, seperti di muka saya tulis, fitrahnya manusia memang saya yakini seperti itu. Seperti kiper, fitrahnya ya menyelamatkan gawangnya dari kebobolan. Bila sang kiper kebobolan ya kudu legowo mendapat hujatan. Saat tidak kemasukan, ya jangan ngarep pujian, itu memang tugas kiper untuk tak kemasukkan. Saya melihatnya seperti itu, kejujuran itu natural.
Jadi menurutmu, Yos, manusia harus berkata jujur di mana pun serta kapan pun? Iya idealnya yang saya yakini seperti itu. Namun begitu, ada beberapa keadaan dimana kebohongan benar-benar tak bisa dihindari lagi. Ada beberapa keadaan yang membuat kebohongan bisa menyuguhkan wajah keindahan serta keharuan. Salah satu contohnya ketika belum lama ini saya dapati kisah mengharukan adik Salwa Mohammad dan ayahnya dari Suriah [1][2][3]. Salwa yang masih berusia tiga tahun tinggal di zona perang kota Saraqib. Di sana sering terjadi serangan udara menggempur bangungan-bangunan di sekitar tempat tinggal mereka. Salwa dan keluarga pun tak ubahnya menunggu giliran rumah yang mereka tempati hancur terkena serangan bom. Mereka bagai menanti malaikat Izrail mengetuk pintu rumah, menjemput adik Salwa dan kedua orangtuanya.
Ayah Salwa, Abdullah Mohammad, tak ingin putrinya ketakutan mendengar ledakan bom-bom yang dijatuhkan menghujani tempat tinggal mereka. Kepada Salwa ia berbohong dengan menyebut serangan udara dari pesawat-pesawat pembom itu sama dengan kembang api yang biasa dimainkan anak-anak di sekitar rumah mereka. Si kecil Salwa pun percaya, hingga setiap kali pesawat-pesawat pembom terdengar datang mendekati tempat tinggal mereka, Abdullah mengambil ponselnya dan mengajak salwa untuk merekam momen keduanya tertawa bersama menikmati “kemeriahan” bom-bom yang dijatuhkan. Dalam salah satu rekaman video keduanya yang viral, nampak adik Salwa tertawa lepas bahagia. Ia terlihat percaya begitu saja atas kebohongan-kebohongan indah yang diucapkan sang ayah.
Adik Salwa memang terlalu kecil untuk bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dalam beberapa wawancara dengan media, Abdullah menyebut ide untuk membohongi putrinya itu terinspirasi dari kejadian menarik pada dua tahun sebelumnya. Saat hari raya Idul Fitri dua tahun silam atau ketika Salwa masih berusia satu tahun, Salwa sempat ketakutan saat mendengar suara ledakan kembang api yang dimainkan oleh anak-anak di sekitar rumahnya. Abdullah kemudian menggendong Salwa dan menjelaskan padanya bahwa suara ledakan itu adalah kembang api yang tak perlu ditakutkan, malah kudu dinikmati dengan riang gembira. Siapa sangka, penjelasan “jujur” yang dua tahun silam berhasil menenangkan putrinya, kini ia jadikan “kebohongan” demi menyelamatkan putrinya dari kehilangan tawa dan rasa bahagia.
Kepada media, Abdullah pun mengaku tahu putrinya mungkin ke depan bakal sadar bahwa suara ledakan yang sering mereka tertawakan bersama penuh sukacita itu sebenarnya sangat mematikan. Abdullah berharap, saat ini hingga kelak ketika Salwa sadar atas kebohongan-kebohongan yang ia sampaikan, putrinya bisa belajar dengan baik tentang apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya dan orang-orang sekitarnya, seiring dengan semakin dewasannya dia. Alhamdulillah, kabar terbaru yang saya baca[4] menyebut keduanya saat ini sudah aman di Antakya, Turki. Meski dari sumber sama juga menyebut Salwa yang kini aman di Turki beberapa kali menangis karena rindu dengan kamar tidur lamanya serta sepupunya di Suriah, setidaknya ia dan kedua orangtuanya sekarang tak terancam hak hidupnya.
Kisah Salwa dan ayahnya membuka mata saya bahwa kejujujuran, meski merupakan fitrah manusia yang sempurna, ada kalanya perlu untuk tidak dikemukakan atau sekadar ditunda untuk disampaikan. Abdullah ayah Salwa di atas rela menjadi tidak sempurna dengan berkata dusta pada Salwa asal putri tercintanya itu bisa tetap sempurna sebagai anak-anak lewat tawa dan rasa bahagia. Abdullah sendiri saya yakini sempat tersiksa batinnya dengan kebohongan-kebohongan yang terpaksa ia sampaikan pada sang putri. Selain itu, mungkin dia pun juga menyimpan rasa takut yang mendalam pada setiap tawanya bersama Salwa ketika pesawat-pesawat pembom itu datang. Bagaimana tidak, bisa saja setiap tawa yang mereka rekam dengan ponsel itu jadi tawa terakhir mereka.
Mengutip data Unicef[5], setidaknya ada 500 ribuan anak terlantar korban konflik di Suriah. Pasti banyak pula cerita serupa, kebohongan dari para orangtua untuk putra-putrinya demi menghapus rasa takut di hati mereka. Doa dan harapannya, semoga “terselamatkannya” Salwa dan keluarga juga terjadi pada ribuan keluarga lain. Semoga mereka kembali menjadi manusia-manusia sempurna seperti sediakala. Tidak ada lagi orangtua yang harus berhohong pada anak-anaknya, tidak ada lagi anak-anak yang harus menjalani masa kecilnya dengan kebohongan-kebohangan ayah-ibu mereka. Terselamatkannya Salwa saya percaya juga berkat doa banyak orang setelah kisahnya viral ke seluruh dunia. Mungkin tulisan ini hanya akan dibaca oleh belasan atau puluhan orang. Namun saya percaya mereka para pembaca pun bakal turut mendoakan Salwa-Salwa lain. Aamiin.
Baca juga:
Referensi: