Kengerian Corona dan Drama Cebong-Kampret yang Melegenda

By-|

Instagram

Cebong dan Kampret
Cebong dan Kampret (scmp.com)

Sejak wabah virus Corona (Covid-19) melanda tanah air, setiap pagi sebelum cek-cek email atau nyentuh kerjaan, saya punya kebiasaan baru untuk baca-baca lebih dulu segala informasi terbaru tentang Corona. Salah satu informasi yang membuat saya tertarik namun juga menggugah perasaan ngeri setiap kali membacanya adalah perkembangan jumlah kasus dan korban meninggal karena virus Corona di berbagai negara, khususnya Amerika. Amerika beberapa hari lalu baru saja melangkahi Spanyol dan Italia sebagai negara dengan jumlah kasus dan korban meninggal terbanyak di Dunia. Saat saya menulis postingan ini, Senin, 12 April 2020, total kasus Covid-19 di Amerika telah menyentuh angka 532.879 dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 20.577.

Data di atas saya ambil dari Worldometers[1], salah satu sumber yang setahu saya paling valid dan ter-update tentang perkembangan virus Corona di seluruh dunia. Masih dari sumber yang sama, pertambahan kasus per hari di Amerika pada 11 April 2020 kemarin mencapai 30.003, sementara jumlah pertambahan korban meninggal pada hari yang sama adalah 1.830 atau hampir dua ribuan, angka yang sangat mengerikan. Dari logika awam saya pun muncul semacam pertanyaan atau pemikiran, “Bila di negara semaju Amerika yang boleh dibilang superpower serta memiliki dana penanggulangan bencana yang pastinya super gede, tapi angka kasus dan kematian karena virus Corona bisa setinggi itu, lalu bagaimana dengan negara berkembang seperti Indonesia?”

Update Jumlah Korban Corona Harian
Update Jumlah Korban Corona Harian (Worldometer)

Amerika yang berdarah-darah menghadapi Corona itu bahkan sudah melakukan berbagai macam upaya, tidak jarang upayanya terbilang “nakal”. Upaya nakal itu seperti “membajak” kiriman pesanan masker Prancis dari China dengan membayarnya tiga atau empat kali lebih mahal[2]. Bahkan bentuk lebih “halus” dari aksi nakal yang dilakukan oleh Amerika tersebut, yakni memborong pesanan peralatan medis yang berhubungan dengan diagnosa atau pengobatan Corona, juga sudah dilakukan oleh negara-negara kaya lainnya[3]. Dengan upaya yang terbilang gercep dan terkesan egois saja jumlah korban di negara-negara tersebut banyak sekali jumlahnya, bagaimana dengan nasib kita-kita di negara berkembang yang dananya terbatas?

Kekhawatiran saya, apa yang bakal terjadi di Indonesia dalam beberapa minggu atau bulan ke depan lebih mengerikan dibanding yang terjadi di Amerika. Terlebih lagi beberapa artikel dan studi terbaru yang saya baca seperti mengamini ketakutan saya itu.[4][5] Saat ini, kabar atau berita kematian terkait Corona yang dibagikan warganet di media sosial kebanyakan adalah korban yang mungkin tidak mereka kenal langsung di dunia nyata. Bisa saja dalam beberapa hari atau minggu ke depan warganet yang sama membagikan kabar orang-orang terdekat mereka telah tiada karena Corona. Mungkin juga warganet yang sama mendadak hilang dari media sosial karena mereka sendiri telah pergi meninggalkan dunia, tergabung dalam deretan nama para korban meninggal karena virus Corona.

Awalnya, para korban adalah orang-orang yang mungkin tidak kita kenal. Mereka adalah kakek, nenek, ayah, ibu, istri, suami, atau anak dari orang-orang yang tidak kita kenal. Kemudian korban-korban selanjutnya adalah orang-orang yang namanya tidak asing dalam kehidupan sosial kita atau setidaknya pernah mendengar namanya. Lalu berikutnya, hal yang untuk membayangkannya saja saya bergidik, apalagi menulisnya, yaitu ketika nama-nama korban adalah orang-orang terdekat kita, mulai dari rekan kerja, tetangga, hingga keluarga tercinta. Bahkan bagi mereka yang keluarga atau orang-orang terdekatnya tak jadi korban Corona, pastinya akan turut larut dalam kesedihan tatkala mendapati kabar duka silih berganti menghiasi timeline media sosial Facebook, Twitter, Instagram, dll.

Pemakaman Massal Korban Virus Corona
Pemakaman Massal Korban Virus Corona (cnbc.com)

Pada kondisi seperti itu, ketika kabar duka tak henti-hentinnya hadir di postingan-postingan media sosial, gontok-gontokan mereka para panastak-panasbung a.k.a cebong-kampret alias togok-kadrun yang selama ini begitu melegenda hiasi jagat media sosial berasa lebih baik atau mendingan. Memang fanatisme berlebihan pada seorang tokoh atau pandangan politik seperti yang dilakukan cebong dan kampret tidak elok. Namun begitu, mereka para cebong dan kampret biasanya tak sampai pada aksi saling cabut nyawa orang yang bersebrangan pandangan. Kalaupun ada kasus seperti itu, sependek yang saya tahu sangat jarang terjadi. Mereka para cebong dan kampret tak sebengis Corona yang mengambil nyawa orang-orang tercinta tanpa pandang bulu dia siapa.

Di satu sisi, datangnya wabah virus Corona ke Indonesia seperti bisa menyatukan beberapa kelompok orang yang berbeda pandangan seperti para cebong-kampret yang saya sebut di muka. Hal yang lazim terjadi ketika ada musibah atau musuh bersama yang mengancam, orang-orang akan memilih untuk bersatu bahu membahu melawannya. Namun, rasanya kok harga yang dibayar untuk menyatukan orang-orang yang berbeda pandangan itu terlalu mahal, bahkan sangat mahal. Bila ribuan nyawa melayang adalah bayaran untuk mendamaikan mereka yang berbeda pandangan, mending mereka tetap gontok-gontokan saja asal nafas kehidupan para kakek, nenek, ayah, ibu, istri, suami, atau anak orang tersebut tetap terjaga, tetap saling bisa bercengkrama.

Benar, idealnya adalah semua orang bisa damai dengan sendirinya, tanpa perlu adanya musibah atau musuh bersaman seperti wabah Corona. Saya selalu berusaha menghindari untuk mebanding-bandingkan sesuatu, semacam, “mending ini daripada itu” atau “bagus ini ketimbang itu”. Tapi pada kondisi tertentu, hal seperti itu tak bisa dihindari. Seperti sepenggal syair lagu yang pernah saya tulis untuk ibu[6], dimana saya ingin “membunuh waktu” agar beliau tak menua, kali ini saya ingin juga sekali menghentikan waktu, menghentikan waktu sebelum Corona makin menggila di tanah Ibu Pertiwi tercinta. Bahkan bila memungkinkan, ingin sekali memundurkan waktu ke beberapa bulan silam, ketika Corona belum ada, ketika cebong dan kampret masih sibuk berdrama, itu jauh labih baik di mata saya.

Referensi:

Explore More:

  1. https://www.worldometers.info/coronavirus/

  2. http://www.rfi.fr/en/europe/20200402-china-coronavirus-face-mask-france-stolen-us

  3. https://www.nytimes.com/2020/04/09/world/coronavirus-equipment-rich-poor.html

  4. https://asia.nikkei.com/Spotlight/Asia-Insight/Indonesia-in-worst-position-as-coronavirus-attacks-ASEAN-bloc

  5. https://kumparan.com/kumparansains/riset-gabungan-kematian-virus-corona-di-indonesia-bisa-capai-2-6-juta-orang-1tBREWlxsAb

  6. https://www.yosbeda.com/membunuh-waktu-sebuah-lagu-sederhana-yang-saya-tulis-untuk-ibu

Related Posts.