Beberapa bulan lalu di media sosial beredar sebuah video rekaman CCTV[1] yang memperlihatkan aksi heroik seorang wanita muda gagalkan aksi pencurian kendaraan bermotor (curanmor). Pada video berdurasi sekira satu menit tersebut, diperlihatkan dua orang pelaku curanmor berboncengan sepeda motor awalnya mendekati sebuah rumah. Salah seorang dari mereka kemudian masuk ke dalam rumah itu untuk melancarkan aksi jahatnya, lalu tak berselang lama ia berhasil hidupkan mesin motor yang akan dia bawa kabur. Beberapa detik kemudian secara mengejutkan muncul wanita muda melompat dan menendang si pencuri hingga terjatuh. Pencuri itu kemudian kabur tinggalkan motor yang hendak ia curi, alih-alih berikan perlawanan pada wanita yang telah menendangnya.
Aksi pemberani si wanita muda itu pun menuai banyak pujian dan kekaguman. Saya juga kagum pada nyali si wanita muda itu yang bukan kaleng-kaleng. Namun begitu, di sisi lain saya juga miris pada aksi tersebut ketika mengingat kebanyakan dari pelaku curanmor itu membawa senjata api. Sudah lama dalam benak saya ketika mendengar frasa pencuri kendaraan bermotor itu sama atau setara dengan perampok bersenjata api. Standard operating procedure (SOP) dari perampok adalah ketika korban melawan ya dilukai, bahkan dihabisi. Bukan seperti pencuri-pencuri biasa yang misal ketika ketahuan korban mereka, si pencuri tinggal lari. Telah banyak nyawa-nyawa melayang akibat kebengisan para pelaku curanmor, mulai dari pria, wanita, orang tua, remaja, bahkan hingga anak sekolah.
Ada beberapa kisah tragis korban curanmor yang membekas di ingatan saya sampai sekarang. Pertama adalah kasus yang menimpa Italia Chandra Kirana, seorang wanita muda berusia 23 tahun dari Tangerang pada 2017 silam. Kala itu, Kirana harus meregang nyawa tatkala dia berusaha menggagalkan aksi curanmor hanya bermodalkan gagang sapu, melawan dua orang pelaku yang satu di antaranya membawa pistol rakitan[2][3]. Soal nyali, saya melihat Kirana tak kalah dari mbak-mbak yang berhasil menendang pelaku curanmor pada cerita pertama saya tadi. Konsekuensinya yang berbeda, Kirana tak berhasil mengusir pergi para pelaku pencurian kendaraannya, malainkan malah dia yang pergi untuk selama-lamanya tinggalkan duka mendalam untuk kedua orangtuanya.
Kasus kedua, di Tangerang juga dan masih di tahun yang sama, 2017. Andri Sofyan, 33 tahun, tewas ditembak saat teriaki “maling” orang yang akan mencuri motornya dari jarak dekat di parkiran mini market[4][5]. Jika melihat dari kronologi tewasnya Andri tersebut di CCTV, boleh dibilang lebih miris dibanding cerita Kirana. Pasalnya, bukan tendangan terbang atau pukulan gagang sapu, melainkan teriakan maling dari jarak dekat yang membuatnya didor. Melihat kisah tragis Andri dan Italia, saya jadi berpikir, betapa beruntungnya wanita muda yang berhasil gagalkan curanmon lewat tendangan terbang tadi. Beruntung lantaran para pelaku tak membawa senjata api atau bawa senjata api namun tak mengeluarkannya sehingga mbaknya masih bisa kumpul kembali dengan keluarga.
Baca juga:
Keluarga! iya, poin ini yang sejak awal ingin saya sampaikan. Dari sudut pandang saya, apa yang dilakukan oleh mbak-mbak tendangan terbang sedikit kurang bijaksana jika dia masih memiliki keluarga, entah ayah, ibu, kakak, atau adik. Dalam keyakinan saya (yang mungkin saja bisa salah), keluarga dari mbak tersebut pasti ikhlas hilang sebuah motor ketimbang ditinggal pergi untuk selama-lamanya. Pun begitu dengan orangtua Italia atau istri Andri, rela kendaraan hilang asal nyawa orang tercinta terselamatkan. Kesempetan untuk terus hidup bersama orang-orang tercinta terlalu berharga ketika harus dipertaruhkan dengan apakah seorang pencuri motor itu membawa senjata api atau tidak. harta bisa dicari atau diikhtiari lagi, namun nyawa adalah hal yang sekali pergi tak akan kembali.
Apakah maksudnya aksi tendangan terbang mbaknya itu lebih bijaksana ketika misal dia tak punya keluarga? Saya lebih seneng menyebutnya lebih bisa dimaklumi. Sering dengar kan, orang paling pemberani atau nekat biasanya memang mereka yang tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Saya sendiri tak mendukung hal seperti itu. Jika saya adalah anggota keluarga terakhir dari mbak tendangan terbang tersebut, misal ayahnya dan baru meninggal setahun sebelumnya, pesan terakhir saya adalah jangan lakukan kenekatan seperti itu. Sayangilah kehidupanmu meski hanya tinggal seorang diri bak sebatang kara di dunia. Bertahanlah untuk tetap hidup dan berguna bagi sesama meski takkan ada yang menangisimu atau bahkan menyadarinya ketika kau pergi selama-lamanya dari dunia.
Di sini saya bukan bukan bermaksud bilang kita harus pasrah begitu saja ketika mendapati kendaraan atau harta akan dicuri orang ya, bukan begitu! Penekanan saya adalah agar lebih berhati-hati dengan tetap menjaga jarak aman ketika coba menggagalkan aksi pencurian kendaraan bermotor. Berteriak atau membuat kebisingan dari jarak aman hingga mengundang perhatian orang-orang/warga sekitar menurut hemat saya adalah tindakan paling bijak saat dapati situasi seperti di atas. Meski banyak juga kasus dimana pencuri motor sudah terkepung warga pun tetap bisa lolos ketika pelaku sekali lagi mengandalkan senjata api untuk ancam warga yang mengepung. Setidaknya dengan adanya kepungan warga, potensi untuk gagalnya aksi pencurian motor bisa lebih tinggi serta nyawa aman.
Bukankah jika sampai meninggal karena mempertahankan harta itu mendapat pahala syahid, Yos?[6] Hmm, sependek pemahaman saya itu benar. Tapi hal seperti itu mungkin tak akan saya lakukan. Iya, saya tahu pendapat saya barusan mungkin “sesat”. Gimana lagi, seperti pernah saya tulis di postingan terakhir saya[7], jika saya harus masuk penjara atau kehilangan nyawa, itu adalah demi ibu dan adik saya, intinya demi keluarga, bukan harta. Segala teori jaga jarak aman yang saya utarakan di atas akan saya langgar juga jika yang terancam adalah ibu atau adik saya. Teringat tulisan saya 2014 silam[8], betapa kagumnya saya pada mendiang politisi Laurens Bahang yang meninggal dunia usai berusaha menyelamatkan putrinya dari sengatan listrik ketika di kamar mandi.
Apa yang saya sampaikan di tulisan ini mengingatkan pula saya pada rambu-rambu di jalan yang berbunyi, “Hati-Hati di Jalan. Keluarga Menanti di Rumah”. Membaca pesan itu, frasa “Hati-Hati” saya artikan sekadar berkendara, pun dengan frasa “di Jalan” yang tak hanya di atas jalanan tempat kendaraan barlalu lalang. “Hati-Hati di Jalan” maknanya sangat dalam juga luas. Misal saat pagi tiba, ketika kita pamit dengan mengucap salam kepada orang rumah jelang bepergian dalam keadaan sehat walafiat utuh tanpa kurang satu apa pun, maka saat salam terucap kembali ketika pulang tetaplah dalam keadaan yang sama. Jangan pulang tinggal nama karena coba mempertahankan harta yang insyaallah tak habis untuk diikhtiari lagi selama nafas masih ada dalam diri.
Referensi:
1. https://www.youtube.com/watch?v=qn78rBhWkkc
2. https://www.youtube.com/watch?v=g8u6-eQN6j0
3. https://kumparan.com/kumparannews/kronologi-penembakan-mahasiswi-oleh-perampok-di-tangerang
4. https://www.youtube.com/watch?v=sp5c2hIxrfo
5. https://www.merdeka.com/peristiwa/pergoki-motornya-dicuri-di-minimarket-andri-ditembak-pencuri.html
6. https://www.kompasiana.com/ahmadmughitsnaufal/5c904f3295760e4dff3dc9e2/kewajiban-mempertahankan-harta-benda-dan-syahidnya-seseorang-yang-meninggal-karenanya
7. https://www.yosbeda.com/tentang-vincent-van-gogh-adiknya-dan-pengorbanan-keluarga
8. https://www.yosbeda.com/laurens-bahang-telah-pergi-namun-warisannya-untuk-para-ayah-abadi