Senin, 20 Oktober 2014, Indonesia akan resmi mempunyai presiden baru. Adalah Joko Widodo, orang yang akan menggantikan posisi Susilo Bambang Yudhoyono duduk di kursi Presiden Indonesia untuk periode 2014-2015. Pria yang biasa disapa Jokowi itu akan menjadi nahkoda bahtera besar bernama Nusantara, dialah yang akan bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi pada behtera Nusantara ke depan, apakah akan tenggelam atau akan semakin tangguh dalam berlayar hingga sampai pada dermaga bangsa yang sejahtera.
Saya sendiri bukanlah pemilih Joko Widodo pada pilpres April lalu, saya tidak memilih Jokowi saat itu karena punya alasan pribadi yang berasal pada kesalahan saya sendiri yang begitu mengagumi secara berlebihan Jokowi dan menggap beliau adalah makhluk sempurna yang tak pernah berbuat dosa, tak ada sedikitpun ruang keraguan untuk Jokowi saat itu, maka ketika Jokowi berbuat tercela sedikit saja saya langsung terguncyaaaang, hehehe.. cerita selengkapnya bisa dibaca pada tulisan saya sebelummnya di sini.
Sebagai pemilh capres lain di pilpres lalu, apa yang saya rasakan ketika esok hari negeri ini, tanah air yang saya tinggali dipimpin oleh Jokowi? jujur yang saya rasakan biasa saja, tak begitu kecewa lantaran capres yang saya pilih kalah. Seperti saya bilang sebelumnya bahwa negara ini tak ubahnya sebuah kapal besar, dan pada april lalu diadakan pemilihan kapten kapal lalu Jokowi terpilih menjadi kapten kapalnya. Suatu hal yang tidak bijak bahkan somplak bila saya berharap kapal yang saya tumpangi ini karam atau malah saya membuat lubang-lubang di lambung kapal agar cepat tenggelam.
Apakah saya ikhlas dipimpin Jokowi? sejak beberapa waktu lalu sudah saya buang jauh-jauh kata “saya ikhlas” dan “saya tidak ikhlas” dari perbendaharaan kata di otak saya, ikhlas itu letaknya jauh di relung hati dan tak terukur. Apa yang ada di hati saya saat ini adalah keinginan melihat negeri ini menjadi lebih baik di bawah kepemimpinan Jokowi. Lebih baik yang seperti apa? sederhana saja, saya ingin melihat ibu-ibu bisa tersenyum setiap berbelanja ke pasar karena harga kebutuhan pokok yang murah, saya ingin melihat para sopir-sopir kendaraan umum bisa tertawa lagi karena harga BBM yang tidak mencekik, saya ingin melihat para buruh tani menangis bahagia melihat putra-putrinya jadi sarjana.
Explore More:
Di mata saya, tak penting gaya kepemimpinan seperti apa yang akan dilakukan Jokowi saat memerintah nanti, mau setiap hari blusukan, mau setiap hari di kantor kepresidenan, mau setiap hari pergi ke luar negeri itu tak jadi soal. Bagi saya, jauh lebih baik rakyat sejahtera tapi presidenya jarang bertemu rakyatnya daripada rakyat tidak sejahtera namun bisa bertemu presidenya setiap hari, walau memang idealnya adalah rakyat sejahtera dan juga bisa bertemu presidenya setiap hari.
Bagaimana bila Jokowi berhasil menjadi presiden yang baik yos? bagaimana pula bila sebaliknya, Jokowi gagal menjadi presiden yang baik? bila Jokowi berhasil mensejahterakan rakyat tentu akan menjadi kebahagian seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat yang dulu tidak memilihnya saat pilpres. Bila sebaliknya, Jokowi gagal, kalau gagal yang ngga apa-apa juga, tidak lantas saya sebagai pemilih capres lain menyalahkan rakyat yang dulu memilih Jokowi, sejatinya rakyat bukanlah ahli nujum yang mengetahui masa depan saat pilpres dulu, hehe…
Bila berkaca pada pengalaman saya sebelumnya tentang bagaimana saya melihat Jokowi yang pada awalnya saya terlalu memuja Jokowi kemudian jadi terguncyang atau patah hati, satu pelajaran penting yang bisa saya ambil, yaitu jangan terlalu memuja atau berekspektasi berlebihan terhadap seseorang, begitu juga sebaliknya, jangan terlalu membenci seseorang dengan sebegitu hebatnya yang hanya menyiksa dan mengotori hati yang pada hakikatnya suci, sekali lagi jangan terlalu mencintai dan jangan terlalu membenci.
Mau Jokowi, Prabowo, Megawati, Habibie, semua sama, jangan memandang rendah atau jangan memandangnya terlalu tinggi. Tapi kan mereka hebat yos? jalan takdirlah yang membuat mereka jadi hebat, seperti berkah terlahir di keluarga yang berada dan baik, berkah punya orang tua yang memperhatikan pendidikan anaknya, dan semacamnya. Waktu dan lingkungan berperan besar dalam menjadikan anak manusia jadi seorang pemenang atau pecundang, walau memang faktor genetik juga tak bisa diabaikan.
Aku, kamu, dia, Jokowi, tidaklah berbeda, seperti slogan kampanye Jokowi saat pilpres kemarin, Jokowi adalah kita, ada benarnya juga itu, hanya saja bukan hanya Jokowi, tapi juga Prabowo, Gus Dur, Soekarno, Soeharto, Samuel Eto’o, EMINEM, Valentino Rossi bahkan Adolf Hitler adalah Kita. Kita adalah keluarga besar umat manusia, atau bila dikerucutkan lebih kecil lagi, keluarga besar bangsa Indonesia. Semoga Bangsa ini di bawah kepemimpinan Jokowi serta bantuan doa dari kita semua menjadi bangsa yang makmur sejahtera..! Aamiin.