Sedih sekali rasanya hati ini tatkala mendapati berita anak-anak Rohingya jadi korban pembunuhan sadis tentara Myanmar[1] beberapa hari lalu. Dari sumber yang dikutip oleh media-media yang mewartakan, berita pembunuhan anak-anak Rohingya itu relatif valid. Sekali lagi, anak-anak yang tidak tahu apa-apa harus kehilangan nyawa ketika orang dewasa bertikai. Sengaja saya tidak bicara pokok pertikaian di sana karena saya tidak tahu, yang saya tahu anak-anak telah jadi korban.
Berita atau informasi tentang pembantaian anak-anak memang bukan hal yang baru saya dengar akhir-akhir ini, telah lama saya membaca atau menonton berita-berita mengerikan seperti itu. Zaman masih kuliah dulu, di kalangan teman-teman saya beredar video aksi kekerasan antar etnis yang terjadi di tanah air awal tahun 2000an silam. Di video itu terlihat pemandangan yang sangat mengerikan, anak-anak tewas mengenaskan turut jadi korban konflik rasial.
Waktu itu, saya bingung melogikakan bagaimana orang-orang dewasa bisa begitu kejam membantai anak-anak seperti binatang. Belakangan saya membaca beberapa berita lama yang relatif bisa menjelaskan hal tersebut. Konon, aksi beringas orang-orang dewasa hingga tega menghabisi anak-anak pada pada 16 tahun silam itu terjadi karena mereka kerasukan, dimana mereka melihat orang dari etnis lawanya seperti manusia berkepala sapi[2].
Hal-hal semacam itu memang “percaya ngga percaya” dan saya sendiri memilih untuk percaya. Sedangkan untuk kasus pembunuhan anak-anak di Rohingya yang menurut laporan Fortify Rights dilakukan oleh tentara Myanmar, apakah para tentara itu melakukan penjagalan dengan kondisi tidak sadar juga? Kok rasa-rasanya tidak ya. Sependek yang saya tahu, tentara memang tidak asing dengan hal-hal seperti itu, namun tidak sampai ke “mode kerasukan” dalam berperang.
Bila dugaan saya benar bahwa tentara Myanmar menghabisi nyawa anak-anak itu secara sadar, membayangkannya saja kok miris sekali. Gila, hal gila apa yang sedang terjadi di dunia ini. Saya merasakan rasa yang sama dengan ketika setahun silam membaca berita ISIS memanggal anak-anak non-muslim di depan para orangtuanya yang juga sedang mengantri untuk dihabisi [3]. Membayangkan saja saya tidak kuat, persendian saya langsung lemas memikirkan hal-hal semengerikan itu.
Jangankan membayangkan hal-hal seperti itu, empat tahu silam nemu foto gadis kecil imigran tersenyum[4] ketika diperika polisi di Christmas Island rasanya pengin nangis. Padahal, di foto itu tidak ada hal-hal mengerikan seperti yang telah saya singgung di atas. Jauh sebelumnya, saya juga sempat “dihantui” foto seorang anak gadis diinjak badannya oleh orang dewasa yang katanya tentara Israel. Syukurlah, foto itu belakangan diketahui bukan kejadian nyata, hanya sebuah teatrikal di Bahrain pada 2009 silam[5].
Sejauh mana sih kebengisan homo sapiens sapiens (manusia modern) itu? Dulu pernah baca entah di mana, katanya evolusi manusia itu bisa menekan sifat kebinatangannya hingga suatu saat nanti bisa hilang sepenuhnya. Saat ini, tak ubahnya saya sedang melihat lakon singa menerkam anak rusa yang diperankan oleh manusia, tidak bisa membedakan mana yang dewasa mana yang anak-anak.
Kadang saya begitu bangga jadi bagian dari keluarga besar manusia ketika mendapati hal-hal yang penuh kasih dan sayang pada sesama. Namun kini, saya bingung harus ngomong apa? harus nulis apa? harus berbuat apa? Kebengisan seperti selalu menemukan jalannya, bukannya kebaikan. Namun begitu, seperti Jiraiya gurunya Naruto, saya percaya, akan datang hari dimana semua orang bisa saling memahami satu sama lain.
Baca juga:
Referensi: