Usai Lari 5K Tiap Hari Selama Dua Tahun, Apa yang Saya Dapatkan?

By-|

Instagram

Olahraga Lari
Olahraga Lari (Shutterstock.com)

Tidak terasa hari ini, Selasa, 24 September 2019, tepat dua tahun saya lari harian 5K yang berawal dari ketakutan pada sebuah penyakit. Seperti telah saya tulis dalam postingan lama saya pada November 2019 dengan judul “Bintitan, Diplopia, Myasthenia Gravis, dan Lari yang Kembali Digiatkan”, kebiasaan lari tiap hari ini berawal dari rasa ketakutan berlebihan terhadap salah satu penyakit yang namanya sungguh indah, Myasthenia Gravis (MG).

Masih ingat betul pada sehari sebelum 24 September 2017 atau tepatnya 23 September 2017, saya Googling2 tentang apa yang sebenarnya terjadi ketika mengalami diplopia (double vision) secara mendadak. Sampailah saya pada beberapa artikel kesehatan yang menyebut Myasthenia Gravis memiliki gejala yang salah satunya adalah diplopia. Entah kenapa waktu itu saya nyasarnya ke artikel-artikel MG, padahal diplopia adalah gejala banyak penyakit, tak hanya MG.

Saya kadang ingin tertawa ketika menjadikan lari sebagai solusi ketakutan terhadap MG. Dua tahun lalu saya kaget mendapati fakta tentang penderita MG yang bakal kelelahan untuk sekadar berjalan 10 meter. Langsung dong saya tes kemampuan fisik saya saat itu, apakah masih bisa lari setidaknya lebih dari 1K. Eh, malah bisa dapat lebih dari 4K, lalu beberapa minggu kemudian jadi 5K. Alhamdulillah hal yang saya takutkan secara berlebihan itu tidak terjadi, malah dapat banyak pelajaran dari aktivitas lari tersebut.

Pelajaran pertama. Baikkah lari tiap hari tanpa istirahat kecuali sakit atau ada halangan untuk jangka panjang? Para ahli bilang bahwa olahraga harus ada istirahatnya, tidak boleh setiap hari. Mungkin pendapat mereka tepat untuk atlet atau olahragawan profesional yang jadwal latihannya tak jarang lebih dari enam jam per hari. Sementara lari 5K itu cuma aktivitas sebentar saja lho, setengah jam doang. Jadi semacam lari-lari kecil, anggap saja latihan Sa’i di Mekah kelak kalau ada rezeki lebih, hehehe.

Argumentasi yang sama saya pakai ketika berlari ya “sekadar lari saja”, tanpa “guru dan ilmu”. Sampai detik ini saya tidak tahu teori-teori atau istilah-istilah teknis dalam lari. Lari ya sekadar lari saja tanpa khawatir cedera. Dalam benak saya, homo sapiens sapiens dan saudara-saudara tuanya para makhluk bipedal berjalan tegak sejak ratusan ribu tahun silam kalau lari ya lari saja, tidak ribet mikir teori A, B, C dst. Seperti di muka saya tulis, lari 5K itu cuma aktivitas ringan, kayak simulasi Sa’i.

Telur Dadar
Telur Dadar (Masakbagus.com)

Pelajaran kedua. Lari pagi/sore melewati rute yang sama setiap hari dalam jangka waktu yang lama, apakah bisa? *bisa tahan, maksudnya . Sekadar cerita, zaman kuliah dulu saya sering menginap di rumah teman se-band dan sarapan bareng dengan keluarganya. FYI, sarapannya itu selalu telur dadar dengan sambal bawang yang dinikmati bareng-bareng sekeluarga. Aktivitas makan lauk telur dan sambal itu pun sudah mendarah daging di keluarga kawan saya tersebut.

Baca juga:

Dari situ jadi tahu bahwa ada lho orang-orang yang seumur hidup tidak pernah bosan makan dengan lauk yang sama. Ada yang memang secara “genetik” seperti itu, ada yang karena dibiasakan sejak lama atau dari kecil. Sama dengan saya, dimana tidak pernah sekalipun bosan dengan ayam goreng. Saat lari pun juga begitu, tidak pernah bosan melewati jalan yang sama. Bahkan meski jalannya sama, kini terasa lebih nikmat karena Eneng Myasthenia tak menghantui lagi.

Pelajaran ketiga, lari tanpa bawa gadget/kamera, apa bisa puas? Tak seperti pelari kekinian yang aktif mengunggah aktivitas larinya di media sosial, saya sangat jarang. Beratus-ratus hari playon (Jawa: lari), saya sampai detik ini tak pernah sekalipun membawa ponsel atau gadget, paling hanya MP3 player. Maka itu, saat ada yang tanya dokumentasi lari, paling saya jawab, “tanyakan tetangga saya, apakah kemarin, dua hari lalu, tiga hari lalu, seminggu lalu, sebulan lalu, ketemu saya di jalan?”

Lari tak bawa gadget, apakah artinya saya tidak ngukur catatan waktu? Bersiaplah tertawa, saya tetap ngukur kok, cuma metodenya lugu. Sebelum berangkat lari saya aktifkan stopwatch di ponsel, nanti ketika sudah selesai ya tinggal pencet stop stopwatch-nya, lugu sekali yak. Ponsel hanya saya pegang ketika berangka dan selesai lari. Maka itu, kalau pun saya punya dokumentasi foto lari, paling ya cuma foto-foto sebelum dan sesudah lari, tak pernah ada foto jalan-jalan kampung yang saya lalui.

Pelajaran keempat, benarkah lari bisa bikin cepat kurus? Kalau dari pengalaman pribadi saya, tidak. Jadi ungkapan populer “Diet tanpa olehraga itu percuma atau omong kosong” tidak berlaku, malah yang terjadi sebaliknya. Ramadan 2018 saya stop lari sebulan penuh, sementara Ramadan 2019 saya lari dari hari pertama sampai hari terakhir puasa, penurunan berat badanya relatif sama saja. Kesimpulannya, untuk yang pengen kurus, cukup puasa saja tanpa olahraga sudah cukup.

Menu Diet
Menu Diet (Shutterstock.com)

Pelajaran kelima, kalau dilahirkan sebagai orang yang parnoan pada penyakit, jadikan motivasi saja untuk hidup sehat atau olahraga. Dulu saya mengira cuma saya yang punya ketakutan berlebih pada penyakit, eh belakangan kok ternyata banyak “temannya”. Lihat saja di situs2 web kesehatan interaktif kayak Klikdokter, Alodokter, atau Hellosehat, banyak user/penanya yang khawatir berlebihan pada sakit keras ketika mengalami gejala-gejala yang relatif ringan.

Bukanya saya mau bilang diplopia yang saya alami dua tahun silam adalah gejala ringan, bukan begitu. Saya hanya ingin negasin bahwa cara saya menyikapi diplopia dua tahun silam agak berlebihan, sampai dihantui Eneng Myasthenia. Tapi ketakutan berlebihan saya dua tahun silam harus saya syukuri. Pasalnya, kalau saja dulu saya tidak takut berlebihan pada MG, mungkin sampai saat ini saya tidak berolahraga yang malah berisiko pada kesehatan untuk jangka panjang.

Apakah saya sudah puas dengan pencapaian saya yang bisa lari 5K tiap hari selama dua tahun ini? Relatif puas dan cukup segitu aja. Maksud “segitu aja” adalah saya tidak ada niatan untuk nambah jarak tempuh atau jadwal lari biar makin menantang. Mengingat saya bukan seorang pelari profesional, tapi hanya tukang ketik yang nyari duitnya dari nulis (bukan lari), bisa lari-lari kecil tiap hari selama 30 menit di sela aktivitas nulis sudah sangat-sangat saya syukuri.

Berita Terkait.