Nama Muhammad Zohri dalam tiga-empat hari belakangan ini begitu menyita perhatian masyarakat tanah air. Laki-laki kelahiran Nusa Tenggara Barat, 1 Juli 2000 itu baru saja memenangi Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di nomor lari 100 meter putra[1], Rabu, 11 Juli 2018. Saya sendiri baru mengetahui kabar tersebut pada Kamis, 12 Juli 2018 siang, ketika timeline salah satu akun media sosial saya dipenuhi cuplikan video aksi Zohri di kejuaraan yang digelar di Tampere, Finlandia itu.
Kemenangan Zohri membuka ingatan saya pada final lari 100 meter putra di Olimpiade London 2012. Kala itu, yang menarik perhatian saya bukan Usain Bolt, “sang alien” dari Jamaika peraih medali emas. Yohan Blake, rekan senegara Bolt yang juga peraih medali perak, dia lah pelari yang saat itu menarik perhatian saya. Saya biasa saja melihat Bolt mendepatkan emas Olimpiade 2012, sama dengan yang pernah ia torehkan empat tahun sebelumnya di Olimpiade Beijing 2008.
Meski tinggi badan seorang pelari bukan segalanya di lintasan atau memberikan keuntungan yang berlebih, tapi secara kasat mata berasa aneh saat melihat Bolt yang bertinggi 195 cm itu berlari. Sekilas kayak enggak cepat larinya, tapi aslinya cepat, maksudnya berasa kurang ngibrit gitu. Entah perasaan saya saja atau orang lain juga merasakan hal yang sama, Bolt seperti anak SD lomba lari dengan anak-anak TK, hahaha.
Sementara, waktu melihat Blake di final itu berasa ngacir bener larinya. Dia sebenarnya tidak pendek, pelari kelahiran 26 Desember 1989 memiliki tinggi badan 180 cm. Namun kerana memiliki badan yang kekar, tingginya yang 180 itu terlihat seperti 170an di mata saya. Sering kan melihat orang yang kurus seakan lebih tinggi dan orang yang gempal terlihat pendekan? Ketika berlari, orang yang lebih pendek biasanya juga terlihat lebih cepat. Ingat ya, cuma terlihat, bukan kecepatan aslinya.
Saya belum tahu berapa tinggi badan Zohri, namun bila melihat gap postur Zohri saat bersalaman dengan Anthony Schwartz (183 cm), lawan terberatnya di kejuaraaan kemarin, tinggi Zohri saya duga antara 168-173 cm. Perawakan Zohri ini relatif kekar juga, tak heran bila kesan ngibrit saya dapati saat melihat dia beraksi di lintasan lari. Berulang-ulang saya putar videonya, Zori yang berlari di lane 8 terlihat ngibrit banget. Mungkin juga faktor di lane 7 ada Thembo Monareng, pelari yang juga lebih tinggi dari Zori, sehingga kesan ngibritnya Zori makin terlihat.
Seperti sudah saya utarakan di muka, Bolt meraih medali emas lari 100 meter Olimpiade London 2012 dengan catatan waktu 9.63 sec. Sementara perak untuk rekan senegaranya, Blake dengan catatan waktu yang tak kalah fantastis, 9.75. Padahal postur Blake dan Bold berjarak 15 cm, betapa tinggi badan tidak jadi halangan bagi Blake untuk mendekati catatan waktu “sang alien”. FYI, best time Bolt untuk lari 100 meter sepanjang kariernya adalah 9.58 (2009 - World Record), sementara Blake 9.69 (2012).
Pada tahun 2012 itu saya dalam hati sempat mikir gini, “Ada enggak ya orang Indonesia yang bisa seperti Blake, atau setidaknya bisa bersaing dengan orang2 seperti mereka?”. Jujur saja saya pesimis, pelari terbaik tanah air saat itu, Suryo Agung, catatan waktu terbaiknya 10.17[2]. Catatan waktu itu diraih Suryo saat berada di masa prime-nya, usia 25-26 tahun (2009). Kini, dengan munculnya Zohri, kayaknya tidak mustahil melihat pelari Indonesia bisa bersaing dengan sprinter elite dunia.
Rabu kemarin, Zohri mengukuhkan 10.18 detik pada usianya yang masih 18 tahun. Tidak mustahil Zohri mengikuti jejak Su Bingtian (China), sprinter asli Asia pertama yang sanggup menembus “batas 10 detik” lari 100 meter[3], tepatnya 9.99 detik di IAAF Diamond League, Eugene, USA, 30 Mei 2015. Bahkan pada IAAF Meeting Madrid 2018 bulan kemarin, Pelari bertinggi 172 cm itu berhasil menyentuh 9.91 sec. Kalau tebakan saya atas tinggi badan Zohri tidak meleset, postur Su ini mirip dengan Zohri.
Sebenarnya tidak hanya Blake dan Su Bingtian pelari berpostur “biasa” yang bisa berlari sangat cepat. Ada juga Andre De Grasse, sprinter muda Kanada bertinggi 176 cm yang pada Olimpiade Rio 2016 silam menarik perhatian banyak orang lewat medali perunggu. Saat itu, catatan waktu De Grasse 9.91, di belakang Bolt (9.81 - emas) dan Justin Gatlin (9.89 - perak). Sayang, belakangan ia akrab dengan cedera hamstring yang berpotensi menurunkan performanya dalam beberapa tahun kedepan, seperti yang menimpa Blake.
Baca juga:
Sekadar diketahui, Blake, sprinter yang dari awal tadi saya sebut pada April 2013 silam mengalami cedera hamstring. Digadang jadi penerus Bolt, performa Blake sejak cedera itu sampai detik ini malah memble. Paling anyar pada Diamond League 2018 Paris, 30 Juni silam, Blake hanya sanggup mencatatkan 10.03 di final[4]. Bahkan di situ prestasi Su Bingtian lebih baik, berhasil menempati peringkat tiga dengan catatan waktu 9.91, sama dengan yang diraihkan pada IAAF Meeting Madrid 2018.
Semoga Zohri tidak mengalami cedera hamstring atau cedera apa pun yang berpotensi menurunkan performa dia. Lari 100 meter adalah olahraga yang menuntut batas kemampuan fisik tertinggi manusia, sedikit saja ada yang salah dengan tubuh/fisik pelari, potensi untuk memangkas 0.01 detik bisa saja hilang. Persaingan sprinter dunia juga bakal lebih menarik lagi ke depannya, karena sang alien (Bolt) sudah memasuki usia 31 tahun, mulai meninggalkan era prime-nya. Ini waktu yang tepat untuk Zohri semakin berkembang!
Referensi: