Ayesha Zahra #2

By-|

Instagram

Ayah dan Anak Gadisnya
Ilustrasi (Emily Burke)

Baca sebelumnya: Ayesha Zahra #1

“Ayuuk buruan ayah.” kata si kecil Rara ketika saya sudah menyelesaikan telepon.

Ternyata Rara sudah selesai dari tadi dan dia terlihat lucu sekali dengan tas ransel yang super gede. Apa ngga berat itu? pikir saya saat melihat si kecil Rara yang malah mirip kura-kura ninja, hahaha…

“Apa ngga berat sayang pake tas segede itu?” tanyaku kepada Rara.

“Ngga berat kok,” jawab dia dengan mimik muka ngga yakin.”

“hayoo Rara bohong ya, sini ayah bawain tasnya,” pintaku pada Rara.

“ngga mauk” dengan cemberut si kecil Rara menolak tawaran ayahnya.

Kadang memang saya tak bisa mengerti jalan pikiran anak-anak, khususnya ketika mereka berusaha mempertahankan sesuatu yang disenanginya, seperti putri saya ini yang menolak dibantu ayahnya untuk dibawakan tasnya.

“Ya udah, ayo sayang.” ajakku sembari menggandeng tangan si kecil Rara.

Kami pun bergegas ke depan, dan saya pun terdiam sejenak sembari sedikit tersenyum, walau terlempar ke tahun 2020 ada satu sifat khas saya yang masih saya bawa hingga saat itu yaitu pelupa. lupa bawa ketika akan menggunakan kendaraan itu harus pakai kunci, sementara ini langsung nylonong saja gandeng Rara kedepan, sampai ngga tau kalau belum bawa kunci mobilnya.

“Sayang, tahu kunci mobil ayah di taruh di mana?” tanyaku pada Rara.

Dia tak menjawab malah tersenyum, sembari perlahan menunjukan sesuatu ditangannya, ternyata kunci mobilnya dia yang bawa.

“Lho kok kamu bawa sayang, itu kan bukan mainan!!!” bentak saya pada Rara.

“Ayah kan selalu lupa, jadi Rara bawain tadi” jawab Rara dengan raut muka cemberutnya, sepertinya dia ngambek dengan nada bicara saya barusan yang sedikit membentak.

Mendengar jawaban Rara saya sedikit bingung dan merasa bersalah juga, ternyata niat Rara baik. Hal ini membuat saya teringat akan diri saya di tahun 2013, dimana saya mempunyai impian menggebu-gebu untuk memiliki seorang anak, dan saat ini ketika telah memilikinya ternyata tak semudah yang saya bayangkan, memahami seorang anak 10 kali lebih sulit dari memahami orang dewasa.

“Eh iya sayang, ayah lupa, maafin ayah ya” kata saya sembari jongkok memegang bahu kanan kiri Rara yang mungil dengan kedua tangan saya, namun gadis 5 tahun ini masih saja menunjukan wajah cemberutnya.

“Eh sayang itu kok ada badut lompat pagar…!” seketika Rara langsung memeluk saya dengan wajah ketakutan dan gemetar.

“hahahaha, ayah boong sayang, tuh badutnya ngga ada,” kataku pada Rara, “Rara sih nakal, pakai ngambek segala, ayo senyum dong sayang” pintaku pada putri kecilku.

Tebakan saya benar, Rara takut badut, padahal saya hanya berharap saja dia sama seperti adik perempuan saya waktu kecil yang juga takut sama badut.

“Ah.. Ayaah…” Rara tersenyum sambil mencengkeram tangan ayahnya dengan gemaasnya.

“udah ngga marah lagi kan, ayo naik sayang” pinta saya.

Kami pun akhirnya bergegas berangkat menuju sekolahnya Rara, dan saya mungkin juga Rara belum sadar bila ayahnya tak tahu alamat sekolahnya Rara, saya pun berfikir keras bagaimana bisa sampai kesekolah Rara.

“kenapa ayah kok berhenti” tanya Rara bingung karena kendaraan kami berhenti untuk menepi sebentar.

Bukan tanpa alasan saya menepi sebentar, sejujurnya saya menepi untuk sekedar melihat Nama TK anak saya yang tertulis diseragamnya kemudian mencarinya via Google Map, Saya ketikan “TK Aisyiyah Bustanul Athfal 20” seperti yang tertulis diseragamnya, saya pun akhirnya menemukan lokasi sekolah anak saya.

“Ngga apa-apa sayang, ayah balas email taman ayah dulu, penting ini” saya sedikit bohong pada Rara.

Setelah mengetahui lokasi persis sekolah Rara, kami pun melanjutkan perjalanan dan tak sampai 10 menit kami sudah sampai di sekalah Rara.

“Udah nyampe sayang, hayuuk sana ketemu teman-temanmu,” perintahku pada rara, tapi rara malah diam dan mentap saya seperti menunggu sesuatu.

“Ouw iya uang sakunya belum ya sayang,” kataku pada Rara..

“Bukan ayah, cium tangan dulu kan kalau mau sekolah” pinta Rara.

Seketika saya merasakan keheningan saat putri kecil saya berkata seperti itu, karena sejujurnya momen-momen kecil seperti cium tangan dari sang putri inilah yang saya impikan sejak saya masih berada di di mensi asal saya (tahun 2013), dan hari ini walau saya tak tahu ini dimensi apa, tapi saya telah merasakanya, terimakasih Tuhan.

“Rara berangkat dulu ya” kata Rara sambil mencium tangan Ayahnya.

“Iya sayang, jangan nakal ya di kelas” jawab saya.

Saya kemudian bergegas kembali ke rumah, dan sesampainya di rumah saya makin bingung, apa yang harus saya lakukan di sini? kapan saya bisa kembali ke tahun 2013? bagaimana pekerjaan-pekerjaan saya yang belum saya selesaikan di Tahun 2013? belum sembuh pusing saya memikirkan semua itu, ponsel saya berbunyi.

“Hallo”

“Pagi pak, Pak Yos nanti berangkat pagian ya ke studioanya”

Baca juga:

“Hah, studio?? ini siapa?” Tanya saya yang kebingungan.

“Dita pak, baru bangun tidur ya pak, hahaha” jawab perempuan dalam telepon tersebut.

“Ohh kamu dit, iya dit baru bangun nih,  jam berapa saya harus sampai ke studio”

“Jam setengah sembilan harusnya kita udah berangkat pak, Klien kita Ibu Wida bayi sudah lahir seminggu yang lalu, tapi baru hubungin saya kemarin”

“Oke deh dit, bentar lagi aku berangkat, ta mandi dulu”

“Oke deh Pak”

Tujuh tahun ke depan ternyata saya sudah dipanggil pak, merasa aneh banget karena  kemarin sebelum tidur masih sering dipanggil mas. kembai ke soal si Dita ini saya agak bingung juga, Studio? Bayi? sebenarnya apa pekerjaan saya? apakah hobi fotografi saya di tahun 2013 kini di tahun 2020 telah menjadi profesi? setidaknya itulah pendekatan paling masuk akal yang ada di kepala saya.

Sedikit bodoh ketika saya tadi menyanggupi Dita untuk datang ke studio secepatnya sementara Studionya saja di mana saya tidak tahu, namun saya coba cari sesuatu yang bisa menuntun saya ke Studio tersebut setidaknya adalahah dirumah semacam kartu nama, brosur atau sejenisnya yang seharusnya ada alamat studio tersebut.

Mencari sekitar 5 menitan saya temukan sebuah brosur studuio tersebut yang bertuliskan “Bee Photography : Family, Senior, Newborn and Maternity Pictures” Tuh kan bener ujung-ujungnya 7 tahun mendatang saya cuma jadi tukang foto tak menjadi musisi sukses yang sudah saya cita-citakan dari kecil, tapi sudahlah, bermodalkan alamat yang terpampang di brosur tersebut saya segera meluncur ke tempat Dita menunggu.

10 menit perjalanan akhirnya saya hampir sampai di alamat yang tertera di brosur yang saya temukan tadi, dari kejauhan terlihat seosok wanita berkulit putih, rambut sebahu dengan tinggi sekitar 150an dan lumayan cantik juga, hehe… saya parkir kemudia coba menyapanya karena kemungkinan besar dia ini si Dita.

“Ayo pak langsung aja, semua uda saya siapin tadi ini tinggal berangkat saja” Tak salah lagi ini si dita, belum sempat saya sapa udah ngajakin berangkat aja.

“hahaha.. maaf dit.. udah lama nunggu ya, oke deh ayo kita berangkat” ajak saya pada dita, sembari saya menuju jok depan lagi.

“Bantuin angkutin ke mobil dong pak, barangnya banyak banget ini lho” keluh dita sembari menunjuk barang-barang perlengkapan yang kaya orang mau pindahan ini.

Iya memang jujur saya sedikit kaget bahwa perelatan yang dibawa untuk job ini banyak sekali, berbeda sekali dengan kebiasaan saya waktu hunting foto di tahun 2013 dimana saya tiap hunting hanya membawa sebiji tas kecil mungil dah kek tukang urut mau berangkat ngurut pasien, hehe..

Bantu-bantuin angkat peralatan saya sedikit lega mengetahui bahwa 7 tahun berlalu saya masih belum murtad dari merek kamera yang saya anut, yihaaaa.. saya masih seorang Nikonian.

“Ini udah semua dit? yakin ngga ada yang ketinggalan” tanyaku pada Dita.

“Iya lah pak, ngga kaya bapak lah, kalau nyiapin alat-alat selalu saja ada 1-2 item yang kelupaan” Jawab dita padaku.

“ya namanya juga penyakit lupa turunan dit, hehehe.. ayo kita kemoon” ajaku pada dita.

Kami pun akhirnya berangkat ke rumah klien kita pagi ini bu Wida, sepertinya sih ini bakalan motret bayi.

“Dit alamatnya bu Dita dimana emang,” tanyaku pada Dita.

“Ya elah pak Yos, emang sampai segitu parahnya ya sakit pelupanya bapak tuh, kan tiga bulan lalu kita baru dari sana pak” jawab dita dengan raut muka aneh. “itu lho pak, di jalan gajah mada sampingnya pom bensin” tambahnya.

“Eh iya di situ ya, ingat aku” jawabku ke dita, entah pagi ini di tahun 2020 udah bohong berapa kali saya. ibarat kata jadi petualangan dimensi tetep aja ngumpulin dosa, haduuh :D

“Rara sehat pak…?” tanya dita padaku, namun sepertinya saya tak begitu mendengarkan karena masih melamunkan berapa kebohongan yan g sudah saya buat pagi ini sembari memeperhatikan kemudi dan jalan.

“Pak.. paaaak..” dita meanggilku dengan nada yang agak keras.

“eh iya dit, apa tadi..” tanyaku.

“Rara sehat..” tanya dita.

“Alhamdulillah Dit, baik-baik saja..” Jawabku.

“Obatnya diminum terus kan pak, ngga pernah lupa?” Tanya dita lagi.

Disini saya baru ingat bahwa tadi pagi ketika Ibu telepon dia bialng juga kalau obatnya rara jangan lupa diminum, dan saya malah lupa, ayah macam apa saya ini.

“waduh, pagi ini tadi lupa Dit malah, abis ini tadi raranya terburu-buru berangkatnya” Keluh saya.

“Bapak tuh beneran ngga komit deh” ucap Dita dengan ekspersi kecewa.

“Lho dit kok gitu dik, kenapa” saya pun bingung, kenapa si Dita mendadak jadi begitu.

“Kan bapak sendiri yang ngajarin saya bahwa Anak itu adalah segalanya” kata Dita

“Bapak bercerita betapa mendambakan memiliki seorang putri sejak bertahun-tahun lalu, dan ketika cita-cita tertinggi bapak dikabulkan kenapa bisa teledor gitu mengurus rara,” tambah Dita.

“Iya Dit, apa yang kamu omongin barusan benar, emang tadi salahku ketika lupa akan obatnya rara,” besok lagi ngga bakal lupa deh dit. ” anak tetap hal yang paling utama dalam hidup ku, lebih dari apapun yang ada di dunia ini” tambah saya.

…Bersambung

Berita Terkait.