Siang itu matahari sangat terik, seorang gadis kecil dengan seragam sekolah lusuhnya terlihat baru saja sampai di rumahnya. Selang beberapa menit kemudian dia menuju ke salah satu rumah tetangga, kemudian dia menghampiri kakak-kakaknya yang sudah berada duluan di situ, satu demi satu kulit kacang ia kupas, tangan kecilnya pun terlihat kotor terkena tanah dari sisa kulit kacang yang dia kupas, dia sedang melakukan perkerjaan rutinnya tiap pulang sekolah bersama kakak-kakaknya, menjadi buruh kupas kulit kacang. Adik terkecil dari empat saudara perempuan itu sangat menikmati pekerjaan ini, dan mengaggapnya seperti bermain saja.
Si bungsu punya motivasi tersendiri ketika melakukan pekerjaan kecilnya ini, berbeda dengan kakak-kakaknya, dia melakukan itu semua demi untuk mendapatkan beberapa rupiah, yang akan dia gunakan untuk iuran menonton Televisi bersama teman-temanya. Saat itu sekitar tahun 70an akhir, menonton TV menjadi suatu hal yang sangat mewah di dukuh Beleh, Kelurahan Bayemharjo, Kecamatan Giritontro, sebuah kecamatan terpencil di bagian selatan Kabupaten Wonogiri.
Pada tahun-tahun tersebut listrik belum merambah daerah Giritontro dan sekitarnya, bahkan di Kecamatan Kota Wonogiri pun saat itu listrik belum merata benar, Sehingga warga Giritontro yang akan menonton Televisi harus menggunakan AKI (Accu), itu pun tak bisa lama-lama, karena AKI tentu perlu di charge lagi bila dayanya sudah habis. Gadis kecil ini senang bila bisa ikut iuran “Nyetrumke AKI” dari hasil jerih payahnya menjadi buruh pengupas kacang, dia bercerita bahwa dia sangat senang bisa melihat gambar bergerak dari benda berbentuk kotak yang bernama Televisi itu.
Kurang lebih 35 tahun berlalu, gadis kecil itu sekarang telah dewasa dan mempunyai seorang putra, dia pun menceritakan kisah di atas pada putranya sekarang. Saya bangga menjadi putra dari wanita yang masa kecilnya penuh perjuangan ini, Sungguh bersyukur saya dilahirkan di tempat dan waktu dimana listrik tak menjadi masalah berarti. Tahun 1986, satu tahu sebelum saya dilahirkan, Ayah mengajak Ibu hijrah ke kecamatan kota Wonogiri, listrik di daerah kecamatan kota Wonogiri saat saya dilahirkan sudah cukup merata, Alhamdulillah.
Alhamdulillah, itu lah ucap saya sebagai wujud syukur saya bila mengingat masa-masa saat saya di lahirkan, Terang.. terang.. dan terang. Semua tentu tahu bila bayi yang masih merah walaupun penglihatannya belum sempurna namun akan menangis bila berada dalam kegelapan, kenapa saya bisa tahu, karena Ibu bercerita, ketika saya masih bayi dan sempet beberapa malam menginap di rumah nenek di Giritontro, semalaman saya menagis terus karena gelap, saat itu rumah nenek hanya diterangi 2-3 buah tintir, semacam kaleng susu bekas yg dikasih minyak tanah dan diberi sumbu untuk penerangan malam hari.
Baca juga:
Dengan membaca sedikit cerita di atas kita bisa sedikit ambil kesimpulan, bahwa listrik itu sangat penting, Bagi sebuah Negara sebesar dan seluas Indonesia, manajemen pemerataan Listrik bagi rakyatnya bukan perkara yang mudah, bahkan menjadi masalah yang cukup pelik dari tahun ke tahun. Perusahaan Listrik Negara (PLN), memikul tanggung jawab tersebut, tanggung jawab untuk memastikan setiap jengkal tanah di Negeri ini mendapatkan pasokan listrik yang memadai, dan saya tahu itu bukanlah tugas dan tanggung jawab yang mudah.
Sedikit menilik lini masa berdirinya Perusahaan Listrik Negara (PLN), tanggal 1 Januari 1965 PLN baru terbentuk dan Saat itu pun kapasitas pembangkit listriknya hanya sebesar 300 MW. Memang normal bila 20 tahun pertama berdirinya PLN, listrik masih menjadi suatu hal yang sulit didapatkan dan tak semua orang bisa menikmatinya, hanya warga di kota-kota besar saja yang mungkin bisa menikmati terangnya lampu pijar saat malam tiba. Dan angan-angan akan “Listrik Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik” masih jauh dari harapan.
Semua butuh proses, PLN juga butuh proses yang panjang untuk memeratakan pasokan listrik di Tanah Air, Lambat laun proses itu memang mulai terlihat hasilnya “Listrik Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik” semakin menjadi nyata. Tapi juga harus di akui, PLN belum mengcover 100 persen Seluruh wilayah Indonesia, Bahkan dukuh Beleh, Kelurahan Bayemharjo, Kecamatan Giritontro, sebuah daerah yang saya ceritakan di awal tulisan ini baru mendapatkan pasokan listrik sepuluh tahun kebelakang. Saya mencoba obyektif, bahwa sumber daya manusia di PLN dan sumber daya alam kita belum bisa bersinergi sebagaimana mestinya, tak pelak kinerja PLN pun tidak selaju yang rakyat harapkan.
Banyak hambatan di lalui PLN selama ini, saya rasa tak perlu malu PLN mengakui bahwa selama ini memang terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuhnya, walau memang skalanya tak semasiv instansi pemerintah lainnya. Akan sangat bijak juga, bila kita sebagai masyarakat mau mengapresiasi PLN Sekarang, yang telah menegaskan komitmennya untuk menjalankan praktek penyelenggaraan korporasi yang bersih dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, sekaligus menegakkan Good Corporate Governance (GCG).
Seperti sebuah kendaraan, taruhlah mobil, jika tiap onderdil mobil bekerja dengan baik dan terawat, Mobil akan bisa berjalan lancar dan tak akan tersendat-sendat, pun demikian dengan PLN ini, Elemen-elemen dalam tubuh PLN harus bisa memegang teguh komitmen untuk menjadikan PLN menjadi lebih baik, bila praktek penyelenggaraan korporasinya bersih, tak ada preaktek korupsi, kolusi dan nepotisme, saya yakin laju PLN dalam memeratakan Listrik untuk rakyat akan berjalan lancar.
Harapan saya mungkin juga harapan saudara-saudara kita yang belum bisa menikmati listrik adalah “Listrik Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik” tak menjadi slogan semata, namun akan segera menjadi kenyataan. Saya, anda, kita, kami dan seluruh Rakyat Indonesia percaya, PLN kedepan akan semakin baik dan mampu melaksanakan tugasnya, sebuah tugas dan tanggung jawab untuk Negara yang dibangun atas dasar kepercayaan rakyatnya hasilnya akan baik, percayalah!
Refrensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_Listrik_Negara